Infaq sebagai Jalan Keberkahan di Tengah Musibah Bencana

Infaq sebagai Jalan Keberkahan di Tengah Musibah Bencana

Musibah banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera kembali menggugah nurani kita semua. Melalui berbagai pemberitaan dan laporan lapangan, kita menyaksikan betapa berat ujian yang tengah dihadapi saudara-saudara kita. Rumah-rumah rusak dan hanyut, harta benda hilang, akses kehidupan terputus, sementara kebutuhan dasar seperti pangan, air bersih, dan tempat tinggal menjadi persoalan mendesak yang harus segera dipenuhi.

Di tengah situasi penuh duka ini, Islam hadir tidak hanya sebagai ajaran spiritual, tetapi juga sebagai solusi nyata bagi problem kemanusiaan. Salah satu jalan yang ditawarkan syariat untuk merespons kondisi darurat seperti ini adalah melalui amalan infaq.

Infaq bukan sekadar aktivitas memberikan bantuan materi. Lebih dari itu, infaq merupakan wujud kepedulian sosial yang mengikat kita sebagai satu umat, sekaligus cerminan keteguhan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Melalui infaq, rasa empati dan tanggung jawab sosial tumbuh, sementara ikatan persaudaraan sesama Muslim semakin menguat.

Dalam kajian fikih zakat kontemporer, istilah infāq (إِنفَاق) secara bahasa berasal dari kata nafaqa yang berarti “habis” atau “dikeluarkan”. Makna ini menunjukkan bahwa infaq adalah harta yang sengaja dilepaskan dari kepemilikan seseorang. Sementara secara istilah, para ulama mendefinisikan infaq sebagai pemberian kepada orang lain untuk menutup kebutuhannya, yang dilakukan dengan keikhlasan semata-mata karena Allah.

Secara hukum asal, infaq memang bersifat sunnah. Namun, dalam kondisi tertentu, kedudukannya dapat meningkat menjadi kewajiban sosial atau fardhu kifayah. Situasi darurat seperti bencana alam yang saat ini menimpa Sumatera termasuk keadaan yang menjadikan infaq sebagai amalan yang sangat dianjurkan dan mendesak bagi setiap Muslim yang memiliki kelapangan rezeki.

Penting untuk kita yakini bersama bahwa infaq tidak pernah mengurangi harta. Dalam fikih zakat kontemporer dijelaskan bahwa syariat justru menjanjikan keberuntungan dan pertambahan rezeki bagi orang-orang yang gemar berinfaq. Infaq bukan jalan menuju kemiskinan, melainkan pintu keberkahan dan investasi akhirat yang hasilnya pasti dan berlipat ganda.

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ

“Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, dan tiap bulir berisi seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki.”

Janji Allah ini ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 261, yang menggambarkan pahala orang yang berinfaq seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, dan setiap bulir berisi seratus biji. Ayat ini menegaskan bahwa infaq di jalan Allah akan dibalas dengan pahala yang berlipat-lipat, sesuai kehendak-Nya. Infaq yang kita keluarkan untuk membantu korban bencana hari ini adalah bekal terbaik untuk kehidupan akhirat kelak.

وَأَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ

“Belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kalian.”

Al-Qur’an juga berulang kali mengingatkan umat Islam agar tidak menunda-nunda infaq. Dalam QS. Al-Munafiqun ayat 10, Allah memerintahkan agar sebagian rezeki dibelanjakan sebelum datangnya kematian. Ayat ini menjadi peringatan keras bahwa kesempatan beramal tidak akan selalu ada. Ketika bencana menuntut bantuan segera, infaq menjadi bentuk amal yang tidak boleh ditunda, agar kita tidak menyesal saat kesempatan telah berlalu.

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ

“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian, dengarkanlah, taatilah, dan berinfaqlah; itu lebih baik bagi diri kalian sendiri.”

Selain itu, Allah menegaskan bahwa manfaat infaq sejatinya kembali kepada diri pelakunya sendiri. Dalam QS. At-Taghabun ayat 16 disebutkan bahwa berinfaq adalah kebaikan bagi diri kita, sebagai bagian dari ketakwaan dan ketaatan kepada Allah sesuai kemampuan masing-masing.

Kondisi bencana di Sumatera saat ini—di mana masyarakat kehilangan tempat tinggal, logistik terbatas, dan proses pemulihan membutuhkan dukungan besar—merupakan momentum nyata untuk mengamalkan nilai-nilai tersebut. Infaq dalam situasi ini menjalankan fungsi penting: menolong sesama yang berada dalam kondisi paling sulit, memperkuat solidaritas sosial melalui prinsip ta‘āwun (saling tolong-menolong), serta menjadi bentuk pengabdian tulus kepada Allah dengan mengutamakan kebutuhan orang lain.

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan barang siapa disempitkan rezekinya, hendaklah ia memberi dari apa yang Allah berikan kepadanya.”

Karena itu, tidak ada alasan untuk merasa kecil hati dengan nominal infaq yang kita keluarkan. Allah sendiri menegaskan dalam QS. At-Thalaq ayat 7 bahwa setiap orang memberi sesuai kemampuannya. Pintu infaq terbuka bagi siapa pun, baik yang memiliki kelapangan rezeki maupun yang berada dalam keterbatasan.

Di tengah musibah besar, bantuan sekecil apa pun memiliki arti yang sangat besar bagi mereka yang kehilangan rumah, harta, dan rasa aman. Maka, mari kita jadikan musibah ini sebagai ladang amal dan ujian keimanan, dengan bersegera menunaikan infaq terbaik kita—demi membantu saudara-saudara kita di Sumatera dan meraih keberkahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Referensi :

https://muhammadiyah.or.id/2025/12/khutbah-jumat-infaq-sebagai-jalan-keberkahan-di-tengah-musibah-bencana/

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *