Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berwatak tarjih dan tajdid senantiasa berupaya merumuskan pandangan keagamaan yang bersifat purifikasi sekaligus dinamis. Dalam konteks tersebut, Muhammadiyah dituntut mampu merespons berbagai persoalan kontemporer yang berkembang di tengah masyarakat, salah satunya adalah persoalan zakat atas hadiah, bonus, dan hasil undian.
Zakat hadiah dan hasil undian merupakan bagian dari zakat kontemporer, yakni zakat yang dikenakan atas harta yang diperoleh seseorang secara tidak rutin, baik berupa uang maupun barang. Harta tersebut dapat berasal dari hadiah, hibah, bonus pekerjaan, perlombaan, kuis, maupun undian yang sah. Dalam praktiknya, jenis perolehan harta ini semakin sering dijumpai seiring berkembangnya dunia kerja, industri kreatif, dan berbagai bentuk kompetisi modern.
Harta yang diperoleh melalui hadiah, hibah, atau hasil undian tersebut, apabila nilainya telah mencapai nisab yang setara dengan emas 85 gram atau lebih, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 persen. Ketentuan ini dianalogikan dengan zakat emas dan perak. Zakat tersebut dapat ditunaikan segera setelah harta diterima, karena tidak disyaratkan adanya haul (kepemilikan selama satu tahun).
Sebagian ulama memang mengqiyaskan zakat hadiah dengan rikaz (harta temuan), sehingga menetapkan kadar zakat sebesar 20 persen. Namun, pendapat ini dinilai kurang tepat dan berpotensi memberatkan. Rikaz pada dasarnya adalah harta yang diperoleh tanpa usaha, tanpa perencanaan, dan tanpa harapan sebelumnya. Sementara itu, hadiah dari perlombaan, undian, atau bonus pekerjaan umumnya diperoleh melalui proses tertentu, usaha, atau prestasi yang disengaja.
Oleh karena itu, banyak ulama kontemporer—termasuk dalam pendekatan tarjih Muhammadiyah—lebih cenderung menganalogikan zakat hadiah dan bonus dengan zakat profesi. Hal ini karena sebagian besar hadiah dan bonus diperoleh sebagai hasil dari kerja, keahlian, atau prestasi tertentu. Dengan demikian, kadar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 persen, sebagaimana zakat penghasilan, dan dinilai lebih adil serta tidak memberatkan bagi penerimanya.
Khusus untuk hadiah yang diperoleh melalui undian atau kuis, zakat dikeluarkan dari nilai bersih harta yang diterima, yaitu setelah dikurangi biaya administrasi, pajak, atau potongan lain yang bersifat wajib (after tax). Zakatnya dapat dibayarkan segera setelah hadiah diterima, tanpa menunggu haul, selama nilai bersihnya telah mencapai nisab.
Apabila hadiah atau bonus tersebut diterima secara rutin dan menjadi bagian dari penghasilan yang biasa, maka harta tersebut boleh digabungkan dengan kekayaan lain yang dimiliki. Zakatnya kemudian dikeluarkan setelah kepemilikan harta tersebut mencapai haul satu tahun, dengan tetap menggunakan kadar 2,5 persen, selama total harta telah memenuhi nisab.
Dari berbagai pendapat yang ada, penyamaan zakat hadiah dan hasil undian dengan zakat profesi dinilai lebih sesuai dengan prinsip kemudahan dan keadilan dalam syariat Islam. Pendekatan ini tidak mengabaikan kewajiban zakat, sekaligus tidak memberatkan orang yang menerima hadiah atau bonus pekerjaan. Meski demikian, apabila ada pihak yang memilih mengqiyaskan zakat hadiah dengan rikaz dan mengeluarkan zakat sebesar 20 persen, hal tersebut tetap diperbolehkan selama dilakukan secara sukarela dan tanpa merasa keberatan.
Sebagai penutup, setelah memahami ketentuan zakat hadiah dan hasil undian ini, mari kita wujudkan pemahaman tersebut dalam bentuk amal nyata dengan menunaikan zakat, infaq, dan sedekah melalui LAZISMU Kabupaten Malang, agar harta yang kita miliki semakin bersih, berkah, dan memberi manfaat luas bagi sesama.
Referensi : Majalah Matahati Edisi 5

